Jumat, 23 Mei 2008

Supply Chain management (SCM)

adalah sinkronisasi dan koordinasi aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan aliran material/produk, baik yang ada dalam satu organisasi maupun antar organisasi. Aliran material/produk dalam satu organisasi, misalkan sebuah industri manufaktur, adalah sesuatu yang komplek. Penanganannya membutuh- kan campur tangan semua pihak, bukan hanya mereka-mereka yang dilalui langsung oleh aliran material/produk secara fisik, tetapi juga bagian-bagian lain seperti bagian perancangan produk, pemasaran, akuntansi, dan sebagainya. Anderson, Britt, dan Favre (1997) memberikan 7 prinsip dalam SCM yang diperuntukkan bagi manajer dalam merumuskan keputusan strategis, yaitu :

1. Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.

2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang berbeda.

3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam perencanaan kebutuhan (demand planning) sehingga bisa menghasilkan ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang optimal.

4. Deferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan percepat konversinya disepanjang rantai supply

5. Kelola sumber-sumber suplai secara strategis untuk mengurangi ongkos kepemilikan dari material maupun jasa.

6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai aupply yang mendukung pengambil- an keputusan berhirarki serta berikan gambaran yang jelas dari aliran produk, jasa, maupun informasi.

7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir.

Lee dan Billington (1992) mendeskripsikan 14 jebakan yang harus diperhatikan dalam SCM, yaitu :

1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap channel menggunakan usuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk membuat “joint metrics” yang mengukur kinerja rantai secara keseluruhan.

2. Customer service tidak didefinisikan dengan jelas, dan tidak ada pengukuran terhadap kelambatan respon dalam pelayanan, tidak ada pengukuran terhadap backorder profile, dan sebagainya.

3. Status data pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat

4. Sistem informasi tidak efisien

5. Dampak ketidakpastian diabaikan.

6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidakpastiantidak diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut, kadang-kadang terlalu statis.

7. Diskriminasi terhadap Internal customer. Prioritasnya rendah, service level-nya tidak terukur, sistem insentifnya tidak erat.

8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak bagus.

9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada pertimbangan efek persediaan dan waktu respon.

10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.

11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.

12. Perancangan produk maupun proses tidak memperhitungkan konsep supply chain.

13. Perancangan dan operasional supply chain dibuat secara terpisah

14. Supply chain tidak lengkap, fokusnya sering hanya pada operasi internal saja, tidak bisa membedakan antara pelayanan terhadap : immediate customers” dengan “end customers”







Seiring dengan menyebarnya konsep-konsep SCM di dunia industri, baik jasa maupun manufaktur, konsep-konsep yang lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM akan bermunculan, yaitu :

1. Fourth Party Logistics (4PL),

dikembangkan oleh Anderson consultant.

Konsep : Memanfaatkan pihak ketiga untuk mengatur/memanajen hubungan antara sebuah perusahaan manufaktur dengan perusahaan shipment.

2. JIT II, dikembangkan oleh Bose corporation

Prinsip JIT II : Adanya kemitraan yang erat antara perusahaan dengan pemasoknya. Pemasok, pada konsep JIT II ini, akan memiliki wakil di perusahaan yang disuplainya. Wakil tersebut nantinya akan punya otoritas untuk membuat order bahan baku atau komponen yang disuplai oleh perusahaannya, menggantikan peran bagian pembelian yang ada pada praktek yang lumrah dewasa ini.

3. Vendor Managed Inventory (VMI),

yang merupakan salah satu variasi dari JIT II. Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai ritel. Selama ini ritel berkewajiban untuk membuat order pembelian untuk menjaga kelangsungan ketersediaan setiap item

yang dijual. Pada VMI, pemasoklah yang nantinya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menentukan kapan suatu item harus dikirim ke ritelnya, berdasarkan informasi tingkat penjualan dan ketersediaan stok yang ada di ritel tersebut.

4. Global Pipeline Management (GPM).

Hewitt (1999) menuliskan bahwa kelemahan utama dari SCM adalah kebutuhan untuk melakukan koordinasi rencana-rencana kerja antar pihak-pihak yang berbeda organisasi. Banyak organisasi yang gagal mengimplementasikan SCM karena ketidakmampuannya melakukan koordniasi antar organisasi. Konsep GPM didasarkan pada teori kontrol, dimana aliran material/produk akan optimal bila dikontrol dari satu titik. Sejalan dengan konsep ini, GPM merekomendasikan bahwa aliran material/produk hendaknya dikendalikan oleh satu pihak atau channel dalam supply chain dan semua channel yang lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi yang diperlukan.

Implementasi SCM bisa berhasil bila:
- SCM dipandang sebagai asset strategis bagi perusahaan.
- Proses SCM dirancang dari ujung ke ujung secara efektif.
- Organisasi SCM yang kuat.
- Model kolaborasi yang tepat.
- Perlu adanya alat pantau untuk mengukur performance seluruh rantai SCM.

Referensi :

http://www.lmfeui.com/uploads/file11-XXX-Januari-2001.PDF

http://id.shvoong.com/books/management-literature/1764660-produktifitas-dan-efisiensi-dengan-supply/

www.cert.or.id/~budi/presentations/aplikasi-SCM.ppt

Tidak ada komentar: